banner-side-160x600.jpg
banner-side-160x600.jpg
banner-970x250.jpg

Pagelaran Produk Pendidikan Mental Gontor

Pagelaran Produk Pendidikan Mental Gontor

Oleh: Dr. KH. Abdurrahim Yapono

Identitas Buku

Judul Buku: Pengalaman Spiritual Alumni 2 Zaman Bersama Trimurti dan Sesepuh Gontor.

Penyunting Buku: Irfanul Islam.

Sambutan Buku: K.H. Drs. Akrim Mariyat, Dipl. AD. ED

Penulis Buku: 32 Tokoh Alumni Gontor Angkatan 2 Zaman 1985.

Penerbit Buku: Berpikir Bijak Bangun Bangsa.

Cetakan: 1, 2020.

Tebal Buku: xii + 303 halaman.

Ukuran: 14 x 21.

Sinopsis Pengalaman Spiritual Alumni 2 Zaman Bersama Trimurti dan Sesepuh Gontor

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengamalan spiritual merupakan pengalaman yang berkaitan dengan kejiwaan, yaitu rohani, batin, dan lain sebagainya (KBBI V).

Sementara menurut ahli psikologi, misalnya Maslow, pengalaman spiritual ialah puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia serta merupakan pengetahuan dari keberadaannya sebagai makhluk spiritual. Ia merupakan kebutuhan tertinggi manusia. Bahkan pengalaman spiritual telah melewati hirarki kebutuhan manusia (Zohar, et.al.: 2001).

Ada berbagai cara dalam memaknai spiritualitas. Pada konteks agama, spiritual dimaknai sebagai hal yang mengacu pada aspek yang instrinsik kehidupan keagamaan. Sedangkan pada konteks kewajaran, spiritual merujuk pada aspek-aspek dan kehidupan pribadi yang mencakup “transenden”, yaitu suatu indra yang luar biasa yang dimiliki oleh manusia atau individu (Surbhi Khanna and Bruce Greyson: 2014). WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah memasukkan syarat sehat adalah dimensi spiritual. Sehingga seorang yang dikatakan sehat jika secara fisik, psikologis, sosial dan secara spiritual (Trianto Safari dan Nofrans Eka Saputra: 2009).

Pondok Modern Gontor adalah lembaga pendidikan pesantren modern. Sejak awal dirancang oleh pendirinya untuk membentuk pribadi beriman, bertakwa dan berakhlaq karimah. Pribadi yang dapat mengabdi pada umat dengan penuh keikhlasan dan berperan aktif dalam memberdayakan masyarakat. Untuk itu, Pondok Modern Gontor telah mencanangkan bahwa “pendidikan lebih penting daripada pengajaran”.

Pondok Modern Gontor merancang dirinya sebagai laboratorium kehidupan bagi santri-santrinya. Berbagai macam hal yang akan dihadapi santri di masyarakat, keulamaan dan keintelektualan, dikenalkan dan dicontohkan kepada mereka sejak dini. Penugasan adalah salah satu metode pendidikan di Pondok Modern Gontor. Bukan hanya dengan kata-kata tetapi dengan kata-kata. Santri tidak hanya diberi ilmu, tapi juga diberi ladang untuk mengaplikasikannya, dengan bimbingan dan pengawasan, disiplin ketat, nasehat dan teguran, dari pengasuh dan para guru. Semua cara itu dilakukan melalui pendidikan klasikal-formal KMI (Kulliyatul Muallimin – setara SMP dan SMA) dan Pengasuhan, tercermin dengan dibentuknya dua organisasi pelajar intern, yaitu; Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM), lengkap dengan bagian-bagiannya serta rayon; dan Koordinator Gerakan Pramuka Pondok Modern, lengkap dengan Andalan-andalan dan Gugus Depan.

Secara garis besar, arah dan tujuan pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern Gontor adalah: (a) Pendidikan Kemasyarakatan; (b) Kesederhanaan; (c) Tidak Berpartai; dan (d) Menuntut ilmu karena Allah. Di Pondok Modern Gontor, para santri sehari-harinya selalu beraktifitas, namun dipusatkan kepada shalat lima waktu, dzikir, belajar, berolah raga, dan seterusnya. Mental mereka ditempa dengan cara-cara Santri, sehari-hari diproses dan „dirawat‟ langsung oleh Kiai, guru dan santri senior dalam empat aspek tujuan pendidikan di atas. Efeknya terbaca dari Himne Oh Pondokku, antara lain: “Rasa batin damai dan sentosa”. Pola disiplin spiritualnya “Tiap pagi dan petang kita beramai sembahyang, mengabdi pada Allah Ta’la.” Semua itu dilakukan oleh Kiai, para guru, pembimbing dan santri dengan keikhlasan dan keseriusan, pengorbanan dan doa. Tidak main-main.

Pola-pola tersebut mengakibatkan efek pendidikan yang dikesan oleh masing-masing santri. Efek yang bukan saja dikesan dalam buku panduan kurikulum melainkan efek dari kurikulum makro yang tidak mudah dilihat dan dibaca. Kecuali anak yang memiliki keinsafan dalam melihat keseluruhan kurikulum yang berlangsung selama ia berada di Gontor. Kata kuncinya untuk memahaminya adalah ungkapan yang sering diperdengarkan kepada para santri oleh Trimurti, “Ke Gontor apa yang kau cari” dan “Sebesar keinsafanmu sebesar itu pula keuntunganmu,” demikian tulis K.H. Drs. Akrim Mariyat, Dipl. AD.Ed., Ketua Badan Wakaf Pondok Modern Gontor terhadap buku ini (h. 1). Saat ini beliau sebagai Pimpinan Pondok Modern Gontor.

Sedangkan pendidikan mental yang ditanamkan Gontor kepada santri, “Berani Hidup tak Takut Mati, Takut Mati Jangan Hidup. Hidup Sekali Hiduplah yang Berarti; Berjasalah tapi Jangan Minta Jasa; Sederhana Bukan Berarti Miskin/Pasif; Orang Besar adalah yang Mengajar Alif, Baa, Taa, Tsa di Surau Kecil Terpencil di Kaki Gunung. Kerjakanlah di Atas Rata-Rata Orang lain Mengerjakan; Hidup itu Akidah dan Perjuangan; Bondo Bahu Pikir Lek Perlu Sak Nyawani Pisan; dan Patah Tumbuh Hilang Berganti. Sebelum Patah Sudah ada ayang Tumbuh. Sebelum Hilang Sudah ada Gantnya;” dan banyak lagi untuk disebutkan (K.H. Imam Zarkasyi: 1939). Inilah mental. K.H. Imam Zarkasyi salah satu pendiri Gontor pernah menyatakan, kalau tidak salah ingat, bahwa “keberhasilan hidup bergantung kepada 80% mental dan ditopang oleh 20% ilmu pengetahuan”.

Buku Pengalaman Spiritual Alumni 2 Zaman Bersama Trimurti Sesepuh Gontor “pita rekaman dan video” yang direkam oleh para penulis buku ini dari proses pendidikan di atas. Apa yang mereka lihat. Apa yang mereka alami. Apa yang mereka kesan. Apa yang mereka rasakan, dan segala hal yang mereka insafi, dituangkan dalam buku ini.

Para penulis adalah tokoh-tokoh yang berperan di masyarakat, baik di jalur pendidikan, pendakwah, maupun pebisnis, pmerintah, dll. Buku ini menjadi bukti keberhasilan pendidikan Gontor. Maka ia boleh dianggap sebagai parade hasil pendidikan mental dan tempaan Gontor.

Marhalah (Angkatan) 2 Zaman. Demikian namanya, dipilih oleh alumni KMI Gontor 1985, karena mereka merasakan dua zaman kepemimpinan, Trimurti pendiri Gontor dan kepemimpinan generasi kedua. Mereka yang tulisan berjumlah 33 tokoh alumni Dua Zaman, termasuk penyunting buku ini, mewakili kurang lebih 250-an teman seangkatannya yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka layak mensejajarkan namanya bersama tokoh-tokoh besar alumni lainnya yang telah berjasa kepada umat meskipun lapangan perjuangannya beragam.

Di antara contoh “Apa yang didengar”, sebagaimana tulis Fuad Immam Wahdan Syamsuhadi (h. 291), “Nasihat Pak Zar [K.H. Imam Zarkasyi] itu terdengar begitu keras dan lugas: ‘Kalau kamu hidup hanya untuk kawin, beranak, makan dan tidur, maka kamu seperti kambing.’ Itu yang saya tanam kuat di hati saya sampai sekarang.” Fuad pernah menjadi Bagian Penerimaan Tamu OPPM. Saat ini Wakil Kepala Sekolah Tsanawiyah dan Aliyah di Sabah Malaysia.

“Apa yang dirasakan”, misalnya tulis Syahid Marqum (h. 231) dalam mengomentari ungkapan Pak Syukri [Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.] “’Nah, ini saya tunggu-tunggu…Jangan bermental budak. Lebih baik menjadi kepala ikan teri daripada menjadi ekor ikan kakap.’ Ungkapan itu disampaikannya dengan tatapan mata yang tajam dan nada yang tegas. Seketika merinding dan bergetar hati saya.” Marqum pernah menjadi Koordinator Pramuka sewaktu jadi santri di Gontor. Saat ini Buya Drs. K.H. Syahid Marqum (demikian nama lengkapnya) adalah pengasuh Pondok Pesantren Mawaridussalam, Deli Serdang Sumatera Utara.

“Apa yang dikerjakan” di Gontor, tentu amat banyak. Contohnya, tulis Mah Sabae: “Latihan kepemimpinan…[yang] saya rasakan mulai dari kepemimpinan di kamar, di rayon (maskan), di Jam‟iyyatul Qurra‟, di Bagian Kesehatan sampai Bagian Pengajaran OPPM.” (h. 284). Tulisnya lagi, “Tahun 1979 adalah tahun pertama saya masuk Gontor… Saya bergabung di Jam’iyyatul Qurra’ (Klub Para Qari). Disinilah saya merasakan sentuhan keikhlasan pertama kali. Sentuhan itu saya dapatkan dari K.H. Hasan Abdullah Sahal. Darinya pula saya belajar bagaimana mencintai Alqur’an…Dibimbing langsung oleh beliau hal-hal mengenai tahsinul qiroatil qur’an (peningkatan kualitas membaca Alqur’an), adab membaca Alqur’an sampai metode menghafal Alqur’an.” (h. 280). Saat ini Mahlani adalah dosen di Universitas Muhammadiyah Makasar dan Direktur Pesantren Gombara.

“Apa yang dicontohkan dan dilihat”. Misalnya tulis Abdul Kholiq (h. 41-42), “Saya, dan juga semua santri yang hadir di pondok kala itu, seperti sudah hafal tradisi dan kebiasaan Pak Zar di hari Jumat. Biasanya sekitar 1 jam atau 45 menit sebelum adzan…Pak Zar datang dan menempati sajadah yang sudah disiapkan…Lalu beliau salat sunah (entah 2 rakaat atau 4 rakaat). Setelah selesai, beliau berdiri lagi dan mengulangi lagi salat sunah itu. Begitu seterusnya. Beliau tidak berhenti sampai dengan khatib berdiri di mimbar.” Di Gontor, K.H. Abdul Kholiq M.Ag. pernah menjadi salah satu pengurus Koordinator Pramuka. Saat ini sebagai Asisten Utama K.H. Nur Iskandar S.Q. Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah; dan Wakil Presiden Perhimpunan Pengasuh Pesantren Se-Indonesia.

Hubungan emosional santri dengan Kiai “dividiokan” di benak pembaca dalam buku ini. Sehingga muncul bahasa slank, “qassim-qassim, beh, jewerannya,” maksudnya “bagi-bagi, kawan, jewerean Pak Zar.” Sebagaimana dikisahkan oleh Syarifudin Basyar, bahwa dia pernah dijewer oleh Pak Zar. Sebabnya roda gerobak kempes sehingga memberatkan perannya mengangkut sampah. Mujur dilihat oleh Pak Zar. Pak Zar bilang beberapa kalimat “Hai kamu, siapa namamu, bodoh-bodoh, jahil. Rodanya itu dipompa dulu, biar kamu ringan menariknya. Pakai otakmu.” Dijawab, “Saya Syarifudin. Iya Kiai.” (tentu keduanya berdialog dalam bahasa Arab). Saat inilah Syarifudin sangat mujur mendapat berkah jeweran oleh tangan mulia, Guru Mulia, Kiai dan Pendiri Gontor. Teman-temannya yang iri, minta dibagi-bagi jewerannya. (h. 101 dst).

Setelah semakin dewasa, Syarifudin semakin menyadari maknanya. Ia berteori “Alat bantu itu tetap harus diperiksa kesiapan dan kelengkapan fungsinya. Fasilitas atau alat bantu yang tidak siap tidak saja gagal membantu kita, tapi justru menambah berat beban pekerjaan kita.” (h. 105). Saat di Gontor Prof. Dr. Syarifudin Basyar, M. Ag., termasuk yang tidak mendapat tugas apa pun di kelas 5 dan 6. Namun jeweran Pak Zar menjadi salah satu pemicu mengubah hidupnya. Saat ini, beliau Guru Besar Sejarah di UIN Raden Intan, Lampung. Kemungkinan selesai menjewer, Pak Zar mendoakannya. Allahu a’lam.

Pengalaman Suziat Zubaidi lain lagi, bahwa dia ditunjuk sebagai pelaku pertama amaliyah tadris (praktik mengajar). Pak Zar memberikan syarat. 1. Mataeri Mutha‟laah diluar buku ajar; 2. Saat latihan, tidak boleh disaksikan oleh siapa pun; dan 3. Saat praktik mengajarnya, semua murid dipanggil dengan namanya, bukan asal main tunjuk. Suziat melaksanakan 3 syarat itu dengan baik karena persiapan dan strateginya benar. (h. 87 dst). Dr. Suziat pernah sebagai Keamanan Rayon Shighar Baru dan bertugas di Bagian Pengajaran OPPM. Saat ini guru KMI Gontor dan Ketua Program Studi S3 AFI Universitas Islam Darussalam.

“Kamu harus sukses. Kamu harus berhasil.” Ini pesan Pak Zar kepada Sofwan Manaf. Pesan yang selalu diulang-ulang setiap bertemu dengan Sofwan. “Bagaimana pun juga, pesan itu terngiang di kepala dan sanubari saya.” Tulis Sofwan (h.52). Di Gontor Dr. K.H. Sofwan Manaf, M. Si., pernah menjadi Bagian Pengajaran OPPM dan Sekretaris Pimpinan. Saat ini sebagai salah satu Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta dengan 18 cabang di seluruh Indonesia.

“Nanti diwakafkan kan pondokmu?” Tanya salah satu Pimpinan Pondok Modern Gontor, Bapak K.H. Shoiman Lukmanul Hakim kepada Dr. KH. M. Tata Taufik, M.Ag., Pengasuh Pondok Modern Al-Ikhlas, Kuningan Jawa Barat, yang dijawab, “Iya”. Saat di Gontor, termasuk yang tidak menjabat di OPPM atau Koordinator Pramuka. Saat ini selian Pengasuh Pondok, Kiai Tata menjabat sebagai Presiden dan Perhimpunan Pengasuh Pesantren Se-Indonesia (h. 63).

Kelebihan Buku

Bahasa Pengalaman Spiritual Alumni 2 Zaman Bersama Trimurti dan Sesepuh Gontor lugas, popular, renyah, enak dibaca. Isinya banyak hikmah menarik. Ditulis oleh Profesor, Doktor, Kiai dan para sarjana. Di dalamnya bertaburan berbagai “Pengalaman spiritual” para penulis bersama para Kiai, guru-guru, dan lingkungan Gontor yang sengaja diciptakan untuk mendidik.

Segala apa yang dilihat, didengar, dikerjakan, dirasakan, dikesan dari keteladanan, yang mereka rekam, semua ada di buku ini seperti yang saya catat sekilas di atas. Ia ibarat pagelaran proses dan hasil „produk‟, yakni produk pendidikan mental ala Gontor.

Buku ini sangat layak dibaca dan dijadikan koleksi terpenting oleh Perpustakaan Nasional, Perguruan Tinggi, Lembaga Pendidikan Pesantren dan koleksi pribadi. Sangat layak dibaca halayak ramai, baik orang awam atau terpelajar. Terutama oleh para pendidik, baik kalangan pesantren ataupun bukan. Khususnya para calon santri Gontor, santri dan alumni berbagai marhalah. Lebih dari itu, buku ini wajib dibaca oleh calon Kiai yang berniat bulat mendirikan Pondok Pesantren.

Kelemahan Buku

Kelemahan yang tidak fatal. Antara lain, terdapat 12 halaman buku ini tercetak ulang. Halaman 157 hingga 168. Kemungkinan saat naik jilid, tidak dilakukan pengecekan terakhir. Setidaknya ada beberapa hal kecil dalam penulisan ejaan. Seperti Tafsirkan dicetak: Tasirkan (h. 14). Jam’iyyatul Qurra‟, ditulis Jamiyyatul Qurra’ (h. 284), dll.

Alangkah baiknya, buku ini diberikan sedikit ulasan tentang apa itu pengertian Pengalaman Spiritual sehingga pembaca memiliki kesatuan persepsi tentang Pengalaman Spiritual yang dimaksud dalam buku ini.[]

RUJUKAN

Imam Zarkasyi, K.H., Pekan Perkenalan – Khutbatu-l-Iftitah Pondok Modern Darussalam Gontor. 1939.

KBBI V. Aplikasi – diakses pada tanggal 30 Oktober 2020 pukul 06:30.
Surbhi Khanna and Bruce Greyson. Near-Death Experiences and Spiritual Well-Being (J Relig Health: 2014).

Trianto Safari dan Nofrans Eka Saputra. Manajemen Emosi Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).

Zohar, Danah dan Marshall, Ian. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan. (Jakarta: Pustaka Mizan, 2001).