Penanusa.com – Meskipun Rasulullah serta para sahabat telah hijrah ke Madinah dan mulai mapan tinggal di sana, namun hal tersebut tidak membuat orang-orang kafir Quraisy berdiam diri. Mereka justru gencar melakukan ancaman dan rencana penyerangan.
Hal tersebut tidak dianggap remeh oleh Rasulullah dan para sahabat, sehingga mereka selalu dalam keadaan siap siaga menghadapi kemungkinan terjadinya penyerangan.
Dalam kondisi yang menegangkan seperti itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mengizinkan kaum muslimin berperang untuk menyingkirkan kebatilan dan menegakkan syi’ar Allah.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (QS. al-Haj : 39)
Namun demikian, setelah turunnya ayat tersebut, tidak serta merta Rasulullah mengadakan peperangan terhadap kaum kafir Quraisy yang saat itu memang masih sangat kuat. Langkah pertama yang Rasulullah lakukan adalah menguasai jalur perdagangan kaum Quraisy antara Mekkah dan Syam. Untuk itu, Rasulullah meletakkan dua strategi jitu:
Pertama, Mengadakan perjanjian dengan suku-suku di sekitar jalur perdagangan tersebut dan tidak mengganggu mereka.
Kedua, Membentuk dan mengirim tim-tim patroli untuk tugas pengintaian dan antisipasi kemungkinan terjadinya serangan musuh, juga untuk mengetahui seluk beluk jalan keluar kota Madinah atau jalan menuju Mekkah.
Tercatat beberapa kejadian pada waktu itu, dimana satu regu yang ditugaskan Rasulullah melakukan patroli militer, dan nyaris sempat terjadi beberapa kali bentrokan, namun tidak sampai membesar. Sekaligus sebagai isyarat kepada kaum Yahudi dan Arab Badui akan kekuatan kaum muslimin juga peringatan bagi kaum Quraisy tentang hal tersebut.
Di antara tim yang cukup dikenal adalah tim yang dipimpin Abdullah bin Jahsy. Tim ini diutus pada bulan Rajab tahun ke-2 H, = tahun 624 M, terdiri dari 12 orang Muhajirin. Rasulullah membekali tim ini dengan sepucuk surat yang tidak boleh mereka buka kecuali setelah perjalanan dua hari. Lalu setelah dua hari perjalanan surat tersebut mereka buka suratnya, isinya adalah:
“Jika kalian telah membaca suratku, berjalanlah menuju Nakhlah yang terletak antara Mekkah dan Tha’if, intailah rombongan Quraisy, dan informasikan kepada kami beritanya”
Karenanya tim ini dikenal dengan Saraya Nakhlah. Namun, di luar rencana, tim ini melakukan penyergapan terhadap kafilah dagang Quraisy tersebut, sehingga ada di antara mereka yang terbunuh dan tertawan, serta harta mereka dirampas. Padahal saat itu masih bulan Rajab yang dikenal masyarakat Arab sebagai bulan suci yang tidak boleh ada pembunuhan dan peperangan, karenanya tindakan mereka tidak disetujui oleh Rasulullah.
Orang-orang kafir yang mendengar berita itu, segera menyebarkan isu negatif bahwa kaum muslimin telah melanggar perintah Allah. Sehingga terjadi berbagai komentar dalam masalah ini. Namun Allah Ta’ala menurunkan wahyu-Nya untuk menjawab tuduhan orang kafir tersebut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil-Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah (menganiaya dan menindas Islam dan kaum muslimin) lebih besar dosanya daripada membunuh” (QS. al-Baqarah : 217)
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan kaum musyrikin selama ini terhadap kaum muslimin di tanah haram jauh lebih besar dan melanggar ajaran Allah Ta’ala daripada tindakan sejumlah sahabat waktu itu yang berperang di bulan haram. Dilansir dari sirohnabawiyah.com. (*)