Jakarta, CNN Indonesia — PT Pertamina (Persero) mengatakan sudah menyepakati harga gas dari lapangan unitisasi Jambaran-Tiung Biru dengan PT PLN (Persero). Dengan demikian, bisa dipastikan, PLN akan menyerap gas dari lapangan tersebut sebagai sumber tenaga pembangkit.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam menuturkan, pihaknya akan segera melaksanakan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dengan perusahaan setrum pelat merah itu. Meski demikian, ia enggan memberitahu harga yang disepakati.
Sebelumnya, di dalam rencana pengembangannya, harga gas lapangan Jambaran-Tiung Biru akan dipatok US$8 per MMBTU dengan eskalasi 2 persen per tahun. Sementara itu, PLN sempat meminta harga gas tersebut maksimal di angka US$7 per MMBTU.
“Saya tidak boleh berbicara masalah harganya, tapi insyaallah ekonomis. Tinggal dirampungkan masalah PJBG,” kata Syamsu ditemui di Kementerian ESDM, Senin (31/7).
Adapun menurutnya, harga yang disepakati lebih rendah dibanding harga yang tertulis di perencanaan awal. Apalagi, ExxonMobil Cepu Ltd juga memutuskan tidak jadi ikut serta di dalam pengembangan itu, sehingga keekonomian lapangan bisa lebih kecil lagi.
Sebagai informasi, lapangan Jambaran-Tiung Biru sendiri merupakan lapangan unitisasi antara lapangan Tiung Biru yang merupakan bagian dari Wilayah Kerja (WK) kelolaan Pertamina EP dan lapangan Jambaran yang merupakan bagian dari blok Cepu kelolaan ExxonMobil.
Hak partisipasi Pertamina EP Cepu (PEPC) dan ExxonMobil di lapangan Jambaran-Tiung Biru tercatat masing-masing 41,4 persen, di mana sisa kepemilikannya diapit oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebesar 9,2 persen dan Pertamina EP sebesar 8 persen. Namun belakangan, Pertamina ingin membeli seluruh hak partisipasi ExxonMobil di lapangan tersebut.
Oleh karenanya, hitungan keekonomian pasti dari Jambaran-Tiung Biru sebetulnya baru bisa diketahui setelah tawar menawar harga hak partisipasi dirampungkan kedua pihak. “Angkanya belum ketemu. ExxonMobil menawar berapa, kami bisanya berapa. Untuk mencapai harganya ExxonMobil, kami meminta beberapa kondisi ke pemerintah,” paparnya.
Untuk memenuhi tingkat keekonomian lapangan, Pertamina rencananya akan meminta insentif berupa tambahan bagi hasil produksi (split). Adapun, bagian kontraktor diharapkan bisa lebih besar dari 35 persen, atau sesuai dengan split kontraktor dalam mengelola WK Cepu.
“Split-nya berubah. Beberapa insentif yang kami minta salah satunya adalah masalah split,” terangnya.
Unitisasi lapangan Jambaran-Tiung Biru dimulai setelah pemerintah menyetujui revisi rencana pengembangannya tanggal 17 Agustus 2015 lalu. Menurut revisi tersebut, lapangan ini bisa menghasilkan gas sebesar 227 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dengan puncak produksi diperkirakan sebesar 315 MMSCFD.
Awalnya, gas Jambaran-Tiung Biru akan dipasok untuk pabrik Pupuk Kujang 1C. Namun, harganya ternyata tak ekonomis karena gas Jambaran-Tiung Biru mengandung karbon dioksida dan hidrogen sulfida sebesar 34 persen.
Akhirnya, PLN berencana untuk mengambil gas Jambaran-Tiung Biru yang akan digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-Bali 3 dengan kapasitas 500 Megawatt (MW) dan alternatif pasokan PLTGU Tambak Lorok setelah pasokan dari lapangan Kepodang milik Petronas Carigali Sdn Bhd diperkirakan selesai lebih cepat. (agi)