Ibarat mata uang, media sosial memiliki dua sisi. Dua sisi ini bisa memberikan dampak positif dan dampak negatif.
Harapan banyak pihak tentu dampak positif dari media sosial itu sendiri, seperti membantu dalam meningkatkan pendapatan ekonomi karena mudahnya akses untuk melakukan promosi dan bertransaksi.
Namun, banyak juga sisi negatif yang diakibatkan oleh pengguna media sosial yang tidak memahami aturan dan etika dalam berperilaku di media sosial.
Ujaran kebencian, hoaks, menyinggung SARA, masih marak dilakukan oleh berbagai oknum atau individu yang tidak memahami bahwa berperilaku di media sosial seharusnya tetap berpegang teguh pada etika kemanusiaan, yaitu tidak menyinggung apalagi membuat marah pihak lain dan menyebabkan konflik.
Kasus Idris dan Subaidi yang terjadi di Sampang Madura, pada Rabu, 21 November 2018, memberikan bukti nyata perlu adanya etika dalam berperilaku di media sosial. Apalagi menjelang Pilpres 2019, media sosial menjadi alat efektif untuk melancarkan black campaign berupa ujaran kebencian, fitnah, hoaks, dan sebagainya.
Oleh karena itu, pengguna media sosial harus cerdas dalam menggunakan media sosial. Harus bisa menahan diri agar tetap beretika sehingga mampu memfilter kalimat atau ujaran seperti apa yang akan membuat marah, menginggung, dan memprovokasi pihak lain.
Melalui perilaku yang beretika di media sosial, diharapkan: pertama, akan tetap tercipta stabilitas sosial (social order) menjelang Pilpres 2019 yang akan membawa terhadap proses demokratisasi yang maksimal tanpa black campaign.
Kedua, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti konflik sosial dan pembunuhan.
Kasus sampang salah satu bukti dampak provokasi yang dilakukan melalui media sosial.
[AINOR ROSID | Direktur IT dan Sosial Media – Relawan Millenial Jokowi – Ma’ruf Amin (REMAJA)]